Sabtu, 12 November 2011

Pembangunan Karakter Bangsa

Beberapa waktu lalu, publik nasional terobati rasa nasionalismenya. Pasalnya, UNESCO sebagai organisasi internasional naungan PBB yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan, menobatkan wayang sebagai warisan dunia (non-benda).

Tentu, pengakuan internasional ini pantas disambut gembira. Betapa tidak! Selama ini ramai diberitakan bahwa kebudayaan nasional, seperti Tari Pendet, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayang-Sayange ditengarai telah diklaim sebagai budaya salah satu negara tetangga kita.

Kegembiraan publik akan pengakuan internasional terhadap wayang ternyata tidak berbanding lurus dengan upaya pelestariannya. Perlakuan kita terhadap wayang sendiri selama ini justru belum mampu menjamin lestarinya wayang dari khasanah kebudayaan nasional. Pemahaman kita selama ini terkait dengan pelestarian wayang, banyak yang keliru. Banyak orang hanya menjadikan wayang tak lebih dari sebagai hiasan dinding rumah.





Jika sungguh hendak melestarikan wayang sebagai budaya asli bangsa Indonesia, maka seharusnya mulai dipikirkan bagaimana pertunjukkan wayang agar semakin digemari oleh seluruh lapisan rakyat dari semua suku bangsa. Sudah menjadi kebiasaan, pertunjukan wayang selama ini dilakukan dalam durasi lama, 8 (delapan) jam di malam hari dengan hanya menggunakan bahasa Jawa dan dengan biaya pertunjukan yang terbilang mahal.

Akibatnya, pertunjukan wayang semakin jarang dan kurang diminati. Profesi seniman wayang (dalang, pesinden, pemusik) pun semakin langka karena rendahnya kesejahteraan mereka, akibat jumlah tanggapan yang sedikit.

Untuk menjadikannya menarik dan digemari oleh masyarakat luas, wayang haruslah dikemas dengan sentuhan estetika tinggi. Pertunjukannya pun idealnya tidak menghabiskan waktu yang terlalu lama dan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dengan begitu, wayang menjadi kesenian yang selaras dengan pola hidup, kemajuan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Untuk dapat menjadikan wayang sebagai seni pertunjukkan yang dapat dinikmati masyarakat luas, maka diperlukan upaya konkrit menciptakan pertunjukan wayang gaya baru sesuai dengan gaya hidup masyarakat modern.

Sebagai anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jember-Lumajang, Jawa Timur, saya bermaksud untuk menggagas Reformasi Pedalangan. Intinya, memprakarsai pertunjukan wayang gaya baru dengan tetap memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.



Pertama, meringkas durasi pertunjukkan wayang dari 8 (delapan) jam menjadi sekitar 2 jam saja.

Kedua, dapat dilaksanakan pada siang hari. Bukankah pertunjukan wayang gaya lama pada malam hari, esok harinya dapat mengganggu jadual aktivitas penontonnya?

Ketiga, yang terpenting, menggunakan bahasa Indonesia. Monopoli bahasa Jawa selama ini membuat pertunjukan wayang hanya dimengerti dan disenangi orang yang mengerti bahasa Jawa. Sedangkan orang yang tidak mengerti bahasa Jawa tidak tertarik untuk menontonnya.
Agar Reformasi Pedalangan tersebut mempunyai makna 'pelestarian' maka ada persyaratan lainnya yang tetap perlu dijunjung tinggi. 
Pertama, cerita dalam Pedalangan Nusantara harus tetap bersumber dari cerita Mahabharata dan Ramayana. 
Kedua, alat peraga wayangnya harus tetap menggunakan wayang purwa. Ketiga, pertunjukan wayang harus tetap menampilkan tokoh wayang yang memiliki bentuk, karakter dan suara sebagaimana aslinya agar tak merusak esensi wayang itu sendiri.

Namun upaya menciptakan bentuk baru tontonan wayang bukanlah perkara sederhana. Inisiatif nyata dan kreatif dari berbagai pihak untuk mewujudkannya sangat dibutuhkan. Atas kegelisahan bersama tersebut, saya mencoba bentuk pewayangan baru yang dinamakan Pedalangan Nusantara (Danu), yaitu wayang kulit (purwa) berbahasa Indonesia dengan durasi pendek (2-3 jam). 
Pedalangan Nusantara akan memberikan setidaknya 6 (enam) dampak positif.
(1) Penonton wayang menjadi banyak termasuk generasi muda dan yang berasal dari etnis non-Jawa. 
(2) tanggapan wayang menjadi sering sehingga kesejahteraan seniman wayang, para dalang, penyanyi (pesinden) dan pemusik (niyaga) semakin baik. 
(3) Masyarakat selain mendapat tontonan indah, juga tuntunan kebenaran, nasihat-nasihat, budi pekerti yang diharapkan akan menjiwai karakter bangsa
(4) Di sekolah-sekolah setiap tahun dapat ditampilkan wayang (karena biayanya murah dan siswa terhibur) sebagai bagian pembangunan budi pekerti. 
(5) Akan muncul beraneka ragam buku wayang (komik/cerita/ulasan) dan melahirkan komikus, pujangga dan pengarang wayang. 
(6) Akan merangsang bergiatnya ekonomi pedesaan karena efek multiplier akibat seringnya ada tanggapan wayang, yang biasanya disertai datangnya pedagang kecil dan informal.

Danu sebagai bentuk kesenian wayang gaya baru telah diuji coba selama kurang lebih 4 bulan melalui lebih dari 40 pergelaran. Dan, terakhir untuk memantapkan hasil uji coba sekaligus memopulerkan bentuk kesenian ini dan mengembangkannya di seluruh Indonesia, juga telah berhasil diselenggarakan Festival Pedalangan Nusantara di Jember, Jatim, 17-28 Juli 2011. Hasilnya luar biasa, hubura edukatif tersebut mampu menggairahkan penonton dan pelaku seni.
Tentu saja upaya bersama tersebut tidak berhenti sampai di situ. Festival harus ditindaklanjuti dengan Pagelaran di sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan pabrik-pabrik. Berbagai upaya masih harus dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk menjadikan wayang sebagai tuan rumah di negari sendiri.

Wayang sebagai warisan budaya di dunia yang diakui oleh UNESCO ini tampaknya terancam punah, kecuali kita berhasil melestarikannya. Kalau tontonan wayang sampai menghilang, bangsa ini akan kehilangan 2 (dua) aset berharga sekaligus, yaitu tontonan bermutu dan tuntunan (petunjuk) hidup bernilai tinggi. Dhus, upaya pelestarian wayang senantiasa dilakukan secara serius; sekaligus dikaitkan dengan upaya pembangunan karakter bangsa. 



Sumber : http://ponorogozone.com/indonesia-pariwisata-zone/membangun-karakter-bangsa/

0 komentar:

Posting Komentar